Wednesday, March 26, 2014

SILAT BUDAYA LEGENDARIS JAWA

Sering kali kita melihat gambaran-gambaran menakjubkan seorang ahli beladiri yang meloncat kesana kemari dengan ringan dan menyerang ke kanan dan ke kiri,kemudian bersalto dengan indahnya. Gambaran ini lebih sering lagi terlihat oleh generasi muda kita dengan munculnya film-film maupun siaran televisi impor yang berbau action / laga. Belum lagi film jenis lain yang menampilkan kemampuan tangan kosong maupun olah senjata. Hal ini masih ditambahkan lagi dengan penempatan idola, keadaan ini sering dijumpai pada anak anak yang memperagakan adegan yang ada di dalam film tersebut. Kondisi ini mencerminkan keinginan untuk bisa menyamai kemampuan aktor jago mereka.
Tanggapan yang sangat berbeda bisa dirasakan dengan penayangan film nasional maupun sinetron yang berbau silat daerah. Disini sangat terlihat antusiasme penonton yang kurang,bahkan cenderung mengarah ke hal ‘geguyonan’ atau ketidakseriusan.
Sebenarnya kita tidak perlu iri dengan penampilan yang ‘wah’ di media. Ibarat pertunjukan suatu drama selalu ada skenarionya. Demikian pula dengan penayangan suatu adegan,selalu ada trik-trik khusus yang diolah sedemikian halusnya sehingga seolah ‘life’ tanpa trik. Dilengkapi lagi dengan kemajuan teknologi,sehingga semua seakan nyata. Tetapi yang sebenarnya…”Who knows ??”
Tetapi disamping itu semua ternyata tidak sedikit bagian masyarakat Indonesia yang tetap memegang teguh budaya asli atau ‘nguri-uri kabudayan’. Dalam hal ini latihan dalam aliran beladiri. Secara umum banyak kalangan muda mupun tua kita yang tetap konsisten dengan ajaran maupun latihan teknik/jurus yang didapatkan dari perkumpulan beladiri asli tersebut. Hal ini patut kita acungi jempol. Karena dengan tetap melestarikan budaya asli maka identitas Negara akan lestari,sehingga mempunyai kepribadian yang kokoh dan tidak mudah terombang-ambing arus globalisasi.
Di sekitar kita banyak sekali terdapat perguruan maupun perkumpulan beladiri. Disamping beladiri secara umum,ada satu aliran beladiri asli kita yang biasa disebut dengan Silat. Silat atau yang oleh masyarakat luas lebih dikenal dengan pencak silat ini adalah seni beladiri asli Indonesia. Sama halnya dengan kuntaw/kungfu dari daratan Cina, taekwondo dari Korea dan Karate dari Jepang.
Secara historis belum diketahui kapan pertama kali muncul silat ini tetapi yang pasti bahwa keadaan alam Kepulauan Nusantara-lah yang mendidik penghuninya untuk ‘survive’. Sehingga masing-masing penduduk pulau mempunyai cara khas tersendiri untuk berusaha mempertahankan hidup sesuai dengan kondisi alamiahnya baik secara geografi,geologi maupun iklimnya. Hal ini pun terjadi di Pulau Jawa. Banyak sekali bentuk aliran silat yang lahir di pulau ini. Biasa tumbuh dan berkembang secara local yang kemudian meluas. Di jawa Barat yang terkenal seperti Silat Cimande,Betawen dan Silat Keraton Cirebon. Kemudian di Jawa Tengah ada Silat Karangbolong, Silat Selarong,juga dengan aliran silat resmi dari Keraton Yogyakarta dan atu Surakarta. Ditambah lagi dengan bercecernya banyak perguruan di Jawa Timur yang tersebar mulai dari Jombang,Madiun,Surabaya,Malang dan kota-kota lainnya.
Dari segi materi,yaitu yang menyangkut teknik,baik teknik dasar,menengah maupun tinggi ternyata semua mempunya paten kualitas tersendiri. Hal ini terbukti dengan data-data sejarah pula. Bahwa Silat Jawa atau beladiri kejawen yang digabung dengan strategi perang yang baik menjadi senjata yang ampuh bagi Raden Wijaya (Nararrya Sanggramawijaya,menantu Kertanegara/Raja Singhasari terakhir) dan pengikutnya didalam usaha menghalau gerakan ekspansi bangsa Mongolia pada jaman transisi dari Singhasari ke awal berdirinya Majapahit,sekitar abad XIII. Dan pada akhirnya mennempatkan Jawa serta nusantara pada umumnya sebagai satu-satunay wilayah Asia khususnya tenggara yang tidak dijajah Mongolia. Sultan Agung Anyakrakusuma raja terkenal dalam sejarah Jawa sebagai Raja kerajaan Mataram ygn kemudian diresmikan sebagai salah satu pahlawan nasional RI ini adalah juga seorang pendekar yang semasa mudanya dikenal sebagai Raden Mas Rangsang. Dengan kemampuan teknik silat dan kemampuan teknik dan siasat perang serta kepercayaan diri yang tinggi yang didapatkan dari guru-guru militer yang pada umumnya juga merupakan pendekar-pendekar tersohor mengirimkan kampanye penyerangan dalam dua divisi selama dua tahun berturut-turut (1629 dan 1629) untuk menyerang VOC di Batavia. Divisi ini dekenal dengan Divisi Kaladhuta I dan Divisi Kaladhuta II. Beranggotakan orang-orang militer yang juga mendapatkan didikan ilmu silat yang baik dari dalam keraton maupun menggali dari luar keraton. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya lebih banyak bermunculan pendekar ya g ‘dhug-dheng’ atau istilah lainnya menguasai ‘ulah kanuragan guna kasantikan lan aji jaya kawijayan’,sakti mandraguna sehingga seakan ‘tan tedhas tapak paluning pandhe’ atau tidak mempan oleh bermacam senjata dalam peperangan. Beberapa dari pemimpin mereka yang bermunculan tersohor seperti Pangeran Diponegoro (markas Goa selarong), Sunan GunungJati (Faletehan/Fatahillah) ,Pangeran Sambernyawa dan banyak lagi yang tidak terekam sejarah.
Tentang materi yang diberikan masing-masing perguruan mempunyai kurikulum tersendiri di dalam penuntasan studinya. Ada yang memakai hitungan bulan dan ada pula yang sampai belasan tahun dalam mencapai tingkatan tertinggi. Yang patut digarisbawahi adalah tingkatan tertinggi bukanlah parameter satu-satunya kemampuan tertinggi. Karena di dalam beladiri tak ubahnya suatu ilmu pengetahuan untuk memecahkan permasalahan yang selalu berkembang sesuai perkembangan jaman. Dengan dasar ‘alam penuh rahasia dan ilmu tiada tepinya’ maka pepatah ‘diatas langit masih ada langit’ bukanlah suatu hal kosong yang digembar-gemborkan. Sehingga masing-masing warga yang menggali teknik diharapkan tekun dan sabar untuk mencapai tujuan final yang diharapkan alirannya.
Secara umum perguruan silat selalu mengetrapkan pemberian teknik dasar yang berupa gerakan-gerakan sikap atau jurus baik dengan bentuk binatan maupun manusia. Kemudian mengingkat ke teknik lanjutan yaitu pertarungan/berpasangan. Pertarungan ini merupakan pengetrapan teknik dasar secara langsung berhadapan dengan lawan dengan maksud evaluasi pencapaian kemampuan siswa. Dan untuk melengkapi itu semua pada berikutnya diberikan teknik tinggi yang bias berupa pengetahuan kejiwaan yaitu pendidikan rohani untuk membina diri supaya tidak ‘adigang adigung adiguna,sapa sira sapa ingsun’ atau takabur. Sedangkan teknik lain yang diajarkan secara ‘gethok tular’ adalah teknik tata nafas untuk menunjang berbagai kebutuhan manusia dan ilmu pengiobatan sederhana yang dilandasi anatomi manusia. Sedangkan bentuk lain latihan yang diberikan secara tidak langsung adalah cara berorganisasi,kepemimpinan,cara komunikasi,tata karma,sportivitas atau jiwa ksatria, serta hal-hal lain yang besifat pengembangan kepribadian.
Sebagai kultur budaya timur silat mengandung beberapa aspek yang luhur, yaitu seni,olahraga,beladiri etika, filsafat dan spiritual. Hal ini menunjukkan bahwa silat bukanlah upaya panjang menghapalkan kaidah, tetapi adalah upaya melakukan latihan dan belajar yang intens,sabar, serius dan kontinyu, sehingga kaidah silat menjadi terwujud dalam gerak spontan (refleks) dan terkondisi pada keseharian menjadi sikap yang menyikap.
Memang banyak ‘target antara’ pada pendidikan silat,namun yang penting adalah target akhir yaitu berupa kesehatan,keselamatan dan kebaikan budi. Dengan demikian lengkaplah sebenarnya ilmu yang bisa digali dalam berlatih silat ini. 
Fenomena yang lebih menggembirakan adalah bahwa perbedaan kultur barat dan timur bukanlah halangan bagi pengembangan silat. Silat sudah merebak di dunia internasional,jurus-jurus kita sudah banyak dipelajari oleh rekan dari Belanda,kanada,Prancis, Italia,Amerika Serikat,Australia dll. Mereka bersama-sama dengan Negara Indonesia mendirikan organisasi pencak silat yang dinamai PERSILAT. Dengan keadaan ini kita patut berbangga hati tetapi tidak takabur sehingga membuat batasan bagi kita untuk berkembang. Yang pasti tindakan yang tepat adalah tetap berusaha meluhurkan dan lelestarikan budaya kita yang begitu banyak warna dan coraknya. Salah satunya ialah Silat ini. Suatu hal yang konyol bagi genersi kita jika harus mempelajari lingkungannya sendiri di tempat orang lain. Mari kita kenali diri dan lingkungan kita dalam toleransi yang bijaksana agar kita tidak menjadi tamu di rumah kita sendiri. Mari kita bangga menjadi Bangsa Indonesia dengan tulus.
SURA DIRA JAYANINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI.


(diadopsi dari tulisan sederhana mas Ir RM Bambang Sumantri, AMd., FBist,yang ditayangkan Majalah AQUA th 1996 saat beliau belajar di Faperik Unibraw)

No comments:

Post a Comment