Thursday, February 20, 2014

LEGENDA PERISAI DIRI


YAP KIE SAN
   Antara 1935 - 1936, RM Soebandiman Dirdjoatmodjo, Seorang Pendekar pilih tanding yang baru saja memenangkan kejuaraan silat antar aliran di Batavia. Beliau mendengar bahwa ada seorang pendekar Kuntao Siaw Liem Sie yang berada di Djogjakarta saat itu. Untuk membuktikan kehebatan ilmu silatnya, maka beliau menantang Sang Pendekar Kuntao yang belakangan diketahui bernama Yap Kie San.

   Menurut Kisah yang diceritakan dari mulut ke mulut oleh para senior dan suheng di Perisai Diri; Saat Pertandingan tersebut Pendekar Bandiman, begitulah Beliau disebut saat masih muda memulai membuka kembangan dengan segala macam Jurus yang telah Beliau kuasai dengan sempurna. Namun Yap Kie San hanya diam dan memasang Kuda 2 serta menjaga agar musuhnya tetap masuk dalam penjuru. 
   Ketika Pendekar Bandiman menyerang, sekonyong - konyong Pendekar Yap Kie san juga melancarkan serangan Kilat Satria Kirinya. Akibat benturan yang ditimbulkan sangat dashyat, Pendekar Bandiman yang telah menguasai lebih dari 120 aliran Silat harus rela terpelanting dan mencium Bumi Pertiwi.
   Beliau siuman 2 hari kemudian, Pendekar Bandiman dengan rendah hati mengakui bahwa " Diatas Gunung masih ada Gunung dan Diatas Langit masih ada Langit, " kemudian beliau mencari Yap Kie san dan memohon agar diterima sebagai muridnya. 
   Perjuangan Pendekar Bandiman untuk diakui murid bukanlah sesuatu yang enak dan mudah. Yap Kie san pada awalnya menolak Beliau mentah2. Namun bukan seorang Pendekar namanya bila mudah berputus asa. Beliau dengan sabar dan tekun menunggu di depan pintu rumah Yap Kie San siang dan malam. Setiap saat bertemu Yap Kie San, beliau memohon untuk dapat diangkat sebagai muridnya. Yap Kie san tetap tak bergeming. Terkadang Yap Kie San keluar dari jalan yang lain hanya untuk menghindari bertemu dengan Pendekar Bandiman. Tak jarang pula Pendekar Bandiman dibiarkan sendiri di luar, sementara Yap Kie San pergi atau melakukan aktifitas lainnya.
   Tak terasa hari berganti hari, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. lewat sudah 3 bulan Pendekar Bandiman dengan sabar dan tekun menunggu Yap Kie San mau menerima Beliau sebagai murid. Akhirnya hati Yap Kie san yang seteguh karangpun luluh melihat ketabahan dan kesabaran dari Pendekar muda ini.
Maka diterimanyalah Raden Mas Soebandiman Dirdjoatmodjo sebagai murid untuk mempelajari Ilmu - ilmu Kuntao yang berasal dari Siaw Liem Sie tersebut. Ilmu - ilmu inilah yang diolah oleh Beliau digabungkan dengan 120 aliran silat yang beliau kuasai yang belakangan dikenal dengan Tehnik Perisai Diri.
   Dengan diterimanya Beliau sebagai Murid oleh Yap Kie San, Perjalanan Beliau masih belum selesai, itu hanya merupakan langkah awal dari 14 tahun penuh Latihan yang ketat guna menguasai tehnik Kuntao yang Ampuh tersebut ............................................................................................................................................ B....E....R...S...A.....M.....B......U.....N.......G

Disarikan dari cerita - cerita menjelang Subuh oleh para Senior Perisai Diri Malang Raya.

NB: BAGI SAUDARA2 YANG MENGKOPI PASTE ATAU MENSHARE TULISAN INI HARAP MENCANTUMKAN SUMBERNYA " PERISAI DIRI MALANG RAYA
"

Tuesday, February 18, 2014

Sekilas Perguruan BIMA ( Budaja Indonesia Mataram ) yang Memiliki sumber yang sama dengan Perisai Diri

Selasa, 22 Februari 2011 - 10:00
Gundala Putera Petir vs Eko ‘Madona’
oleh Whani Darmawan
Salah satu aktivitas Perguruan Silat BIMA (Budaya Indonesia Mataram). (foto: facebook/blackbelt community)
SEBUAH perguruan silat kelahiran asli Yogyakarta 58 tahun (1953-2011) yang lalu mengadakan perayaan ulangtahun. Perguruan silat bernama BIMA (Budaya Indonesia Mataram) yang didirikan oleh almarhum R Brotosoetarjo ini berdiri sejak tahun 1953, bersekretariat dan berkembang di kampung Kumetiran Yogyakarta. Perguruan yang nyaris tidak terkenal jika dibanding dengan beladiri impor macam karate, tae kwon do, Jiu jut su, aikido, dan sebagainya ini memang tidak membuka dirinya sebagaimana beladiri yang lain. Tuduhan bahwa perguruan ini memilih sikap eksklusif barangkali tidak bisa ditolak. Namun demikian hal ini sangat beralasan barkaitan dengan pilihan keilmuan BIMA itu sendiri, bahwa BIMA sangat menghargai otentisitas talenta pribadi. Karena itu perlakuan terhadap satu murid dengan murid yang lain tidak sama, tergantung karakter masing-masing.

Menyangkut karakter permainan, silat BIMA memiliki sebelas (11) permainan. Dalam sebelas permainan itu mewadahi setiap karakter manusia yang tumbuh. Sebelas permainan itu antara lain Permainan Pendeta Kuda Kuningan, Permainan Setria, Permainan Garuda, Permainan  Satria Hutan/Ria Hutan, Permainan Harimau, Permainan Ular, Permainan Naga, Permainan Burung Kuntul Mliwis, Permainan Putri berhias, Permainan Putri Teratai, Permainan Putri Sepasang Bunga.

Tercatat dalam sejarah, PS BIMA memiliki prestasi yang menggembirakan sejalan dengan pembelaan terhadap nasionalisme Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan kesempatan yang diraihnya untuk mengajar di Militer Akademi Hukum di benteng Vandenburg Yogyakarta, 1950, dan di AKABRI UDARA Adisucipto dalam 2 periode tahun 1966.dan 1973. Kecuali itu, PS BIMA adalah perguruan silat pertama yang dipercaya oleh Presiden RI Pertama yakni Ir Soekarno sebagai duta budaya Indonesia untuk tampil di Bratislava pada tanggal 4 September 1957. Pada tanggal 12 dan 13 September 1957 PS BIMA kembali tampil di kota Lodz (baca: Wuds) Polandia. Disusul kemudian di Budapest Hongaria. Yang terakhir ini lawatan berlangsung  pada tanggal 7 Oktober 1957, sambutan meriah ditujukan kepada rombongan pencak silat sebagai pertunjukkan dengan tepuk tangan terbanyak. Hal serupa terjadi di Kairo Mesir pada tanggal 13 Oktober 1957 pertunjukkan pencak silat diabadikan dan diberitakan disejumlah media massa seperti harian ALMASA edisi tanggal 14 Oktober 1957, serta harian ALKAWAKIB tanggal 19 November 1957 di Mesir.

Dalam pertumbuhannya sejak dulu hingga kini PS BIMA juga menginspirasi sejumlah seniman untuk belajar dan mengekspresikan pada bidang seni masing-masing. Tercatat seniman yang tergabung dengan PS BIMA adalah Hasmi, nama asli Harya Suryaminata (komikus pencipta karakter Gundala Putera Petir), Eko Pece Supriyanto (koreografer, penari) yang pernah malang melintang di dunia international menjadi bintang penari pada konser penyayi Madonna dan koreografer pada film Generasi Biru Garin Nugroho. Juga Whanny Darmawan, penulis dan seorang aktor teater Yogyakarta.

Acara ulangtahun PS BIMA ke 58 ini akan berlangsung pada hari minggu, 27 February 2011, bertempat di GOR Jogotiro, Kalasan, Sleman (utara crop circle yang terbentuk pada Januari 2011), dari jam 08.00-15.00 wib. Menu acaranya terdiri dari dua besar; demo gerak dan sarasehan. Demo gerak menampilkan koreografi Eko Supriyanto dengan basis permainan ular, serta beberapa pertarungan tangan kosong dan bersenjata, sementara sarasehan bertemakan ‘konsolidasi organisasi dan keilmuan PS BIMA.’ Pembicaranya adalah Master Kardi (redbelt, pelatihan harian kota yogya) dan Master Aji Indrajaya Ssos (redbelt, ketua Harian PS BIMA).

Lampiran:

I. Sejarah Singkat BIMA

BIMA merupakan singkatan dari Budaya Indonesia Mataram, sebuah kelembagaan olahraga seni beladiri yang lahir dan berkedudukan di Kotapraja Yogyakarta tepatnya di kampung Kumetiran Kidul pada tanggal 8 Februari 1953. Diciptakan sekaligus didirikan oleh R. Brotosutarjo, seorang pribumi yang ingin mendarmabaktikan kecintaannya pada tanah air dan bangsa sebagai kelanjutan proses perjuangan mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia melalui pelestarian seni beladiri pencak silat BIMA, dengan maksud untuk memupuk dan melestarikan kebudayaan bangsa serta meninggikan derajat bangsa Indonesia di tingkat Internasional.

Dalam sejarah hidupnya R.Brotosutarjo dilahirkan di Kampung Pajeksan Yogyakarta tanggal 25 Oktober 1919 oleh pasangan Sastrowihardjo yang merupakan putra R. Panjironodipuro II dengan seorang wanita Sedayu anak seorang petani. Raden Brotosoetarjo adalah Trah Hamengku Buwono I lewat R. Ayu Danukusumo (Trah R. Panji Ronokusumo). Sekitar tahun 1932, R. Brotosoetarjo menginjak usia 12 tahun ketika selesai dikhitankan. Pada tahun tersebut untuk pertama kalinya paman R. Brotosoetarjo bernama Seto Glinding Pangarso membawa R. Brotosoetarjo yang masih sangat muda berguru kepada salah seorang ahli belaraga kanuragan bernama Kyai Marzuki di kampung Notoyudan Yogyakarta.

Di sanalah kemudian Taryo panggilan kecil R. Brotosutarjo mendapatkan pelajaran-pelajaranstille kracht stroom, atau ilmu kanuragan dalam bentuk mistik (bukan kunst belaraga pencak silat), dan selama menjadi murid Kyai Marzuki. Taryo sebutan pendek Brotosutarjo, banyak bergaul dan berhubungan dengan beberapa teman–teman seperguruan yang satu sama lain telah memiliki bekal pengalaman, pengetahuan atau pelajaran-pelajaran  kunst belaraga pencak silat dari bermacam–macam jenis dan aliran, antara lain  Rm. Soebarman Sastroprajitno, Rm. Kuntjoro, Senu, dan Zudjak (1). Pada saat berguru berlatih still kracht, Brotosutarjo mendapatkan juga ajaran dari beberapa teman-teman dalam kunst belaraga pencak silat. Sedangkan kunst atau tehnik belaraga pencak silat terlihat secorak seragam dengan kebanyakan pencak silat yang didapati di wilayah Yogyakarta pada umumnya, yaitu sistem jurus, dan gaya posisi lepasan kaki/tumit, langkah zig zag, jarak tendangan secara umum, sedangkan bentuk gaya isiannya biasa disebut djlontrot, tendang samping, zij slag, T slag, tendang belakang atau achter slag, tendang circle/lingkaran atau zwaai slag dan sebagainya. Di samping berguru ilmu kanuragan stille kracht, Brotosutarjo mendapatkan pengalaman latihan bebas dari beberapa teman yang saat itu sudah menyandang gelar pendekar.

Sesudah sementara waktu kurang lebih 3 tahun lamanya berguru, dan dinyatakan lulus, atas ijin Kyai Marzuki, akhirnya Brotosutarjo dibawa oleh pamannya Seto Glinding Pangarso kembali berguru kepada salah seorang sahabat akrab pamannya, bernama Ki Parto Sardjono yang terkenal dengan sebutan Sardjana Pirnan atau Fernand di kampung Jogonegaran yaitu seorang seniman kethoprak / sandiwara tradisional keliling sekaligus berprofesi sebagai penjual tikar Jawa “damen”. Ki Parto memang tidak membuka secara umum mengajari belaraga silat di kampungnya, hanya karena hubungan kekeluargaan yang sudah terjalin lama dengan pamannya sehingga Brotosutarjo dapat belajar ilmu silat bersama Ki Parto kurang lebih selama satu setengah tahun.Pelajaran yang di dapat berbeda dengan ajaran yang diberikan Kyai Marzuki, ilmu yang diajarkan cenderung merupakan olah tehnik murni ragawi  dengan dasar permainan silat Cina/ Kuntauw aliran Siau Liem Sie (aliran keras). (2) Pada saat itu jadual latihan yang diberikan Ki Parto Sardjono secara diam–diam dilaksanakan tiap hari Rabu dan Sabtu dari jam 9 (sembilan) pagi sampai jam satu siang. Di sinilah R. Brotosutarjo mendapat tehnik belaraga dalam posisi jarak dekat dan sedang, kaki dan tangan berperan aktif berimbang menggunakan serang bela. (3)

Pengaruh aliran beladiri Cina memang cukup besar terbukti seorang pendekar seperti Ki Parto Sarjono menguasai ilmu beladiri Cina aliran Siau Liem Sie ternyata  juga belajar dari seorang Tionghoa bernama Ta Kie  Hok. (4)

Proses berjalannya waktu menumbuhkan rasa kasih sayang Ki Parto Sardjono akan hasrat belajar ilmu beladiri Brotosutarjo membawanya kembali berguru dengan disertai Ki Parto dan Seto Glinding Pangarso menjumpai Jasakarsa (baca: Yosokarso) seorang ahli Kunthau yang ternama di Yogyakarta berkediaman di Notoyudan. Jasakarsa memiliki nama asli Cina bernama Yap Kie San. Peristiwa pertemuan ini berlangsung sekitar tahun 1936 ketika itu Jasakarsa alias Yap Kie San telah memiliki istri dari Muntilan dan menetap di kampung Notoyudan membuka warung kelontong dan menjual tembakau. Kehendak Jasakarsa untuk tidak menerima murid akhirnya berubah untuk menerima Brotosutarjo belajar ilmu beladiri yang dimiliki olehnya selama kurang lebih 2 tahun lebih lama daripada belajar pada Ki Parto Sardjono. Tempat latihan sering dilaksanakan di kediaman Brotosutarjo kampung Kumetiran kidul. Secara diam –diam Yap Kie San sangat mengasihi anak didiknya sehingga dapat dipastikan tiap hari selalu datang di kediaman Brotosutarjo hanya sekadar memberi teori ataupun bermacam hal yang ada kaitannya dengan keilmuan beladirinya. Di sinilah  Brotosutarjo mendapatkan sistem pengolahan dari beragam ilmu Kunthau, silat dan pencak dan akhirnya mencoba mengolah sendiri dengan ijin para gurunya, termasuk menggunakan lambang kode etik/salam hormat dari aliran Siau Liem Sie. Formula keilmuan itu tidak terlepas dari peran kedua sahabat Brotosutarjo yaitu Wirosoeharto (Wirosembogo) siswa angkatan pertama Tedjokusuman Hari Murti, dan Soebekti putra pendekar Soekirman RKB (Rukun Kasarasaning Badan) yang dalam keseharian Brotosutarjo turut membekali dan menyumbang saran akan perpaduan ciptaan Brotosutarjo yang sekarang dikenal ajaran silat BIMA (Budaya Indonesia Mataram) beserta adik kandung Brotosutarjo bernama Soetardjiman sebagai  partner uji coba tehnik BIMA untuk pertamakalinya. (5)

Organisasi perguruan pencak silat BIMA memiliki lambang kode etik atau biasa disebut juga lambang utama, lambang-lambang di dalam setiap rangkaian gerak atau yang lazim disebut jurus permainan juga memiliki makna filosofis yang tersurat maupun yang tersirat sebagai contoh dalam “wejangan” atau ajaran perilaku moralnya. Pada lambang utama khas BIMA tertera gambar  sebuah tangan kanan yang mengepal  dan dikatupkan pada tangan kiri dengan posisi tangan terbuka merapat. Hal ini mengandung maksud serta makna filosofis sebagai berikut: tangan kanan mengepal berwarna hitam mengandung makna sebagai simbol kekuatan beraliran keras yang mampu beradu kekuatan dengan hal  apapun yang sering diartikan kekuatan jahat, nafsu, dan anti kebajikan yang kemudian akan ditundukkan oleh keluhuran budi, kesucian hati, rasa kasih dan kedamaian dengan itikad suci persaudaraan sejati yang dilambangkan dengan tangan kiri terbuka berwarna putih. Lambang utama BIMA inipun memiliki sejarah sendiri dalam bagian asal-usul keilmuannya,  meski secara singkat dapat dikatakan keilmuan belaraga BIMA juga dilatar belakangi oleh filosofi China yang lebih kita kenal dengan teori keseimbangan alam yaitu YIN YANG sebagai lambang keseimbangan alam  Bumi dan Langit, hitam dan putih, keras dan lembut, dan lain sebagainya. Lambang ini diambil dari  kode etik aliran beladiri keras Siau Liem Sie, yang merupakan salah satu aliran beladiri dari daratan Tiongkok Diperkirakan aliran beladiri Siauw Liem Sie ini merupakan aliran silat yang berazaskan agama Budha. (6)

Sayang, pada tahun 1973 R. Brotosoetarjo meninggal. Tongkat estafeta jatuh ke tangan puteranya, Bp Hary Bima yang secara organisatoris juga merangkap sebagai ketua umum PS BIMA. Tercatat sekarang ini BIMA memiliki cabang aktif di beberapa daerah. Antara lain cabang kota (Yogyakarta), Magelang, Sleman, Klaten, Tuban, Cirebon, Tangerang, Bali, Kalimantan Timur.

Catatan kaki:
(1) Transkrip pribadi R. Brotosutarjo pada tahun 1967

(2) Kata Kuntauw berasal dari bahasa daerah Hokkian ( Fu Tjien), yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Chunghua resmi atau Kuo Yu, maka menjadi Djuen Tho.Djuen Tho sendiri tidak lebih berarti Kepal. Maka tidaklah tepat kiranya apabila kita memberi arti ilmu pendjaga diri yang berasal dari Chungkuo dinamai Djuen Su, sebab Su menunjukkan ilmu ( Liem Yoe Kiong hlm. 215)

(3) Wawancara dengan Purwo Rahmat  tgl 2/10/2001dan Ibu Darso tgl 12/12/2000sebagai kerabat dan murid Ki Parto Sardjono di Yogyakarta

(4) Wawancara dengan Purwo Rahmat sebagai saksi murid sekaligus keponakan Ki Parto Sardjono tanggal 2 November 2001 di Yogyakarta

(5) R.Brotosutarjo, Asal–usul Keilmuan silat BIMA dalam buku Petunjuk Pelaksanaan Organisasi BIMA tahun 2001

(6) P.B IPSI, Makalah Sejarah Perkembangan Pencak Silat di Indonesia (Jakarta: PB IPSI th 1989) hal. 3.
*) Aktor teater, tinggal di Yogyakarta


Dikutip dari 
http://indonesiaartnews.or.id/newsdetil.php?id=199

PENDEKAR TIONGKOK DI JAWADWIPA

Pendekar Tiongkok di Tanah Jawa ... 
Semarang kota aktualisasi diri jagoan Kungfu Tempo Doeloe


Sebarkan Sikap Rendah Hati kepada Semua Orang Pada masa lalu, pendekar-pendekar asal Tiongkok pernah berkiprah di Tanah Jawa. Bagaimana sepak terjang mereka? Berikut laporannya. BONG bundar di puncak bukit Menden, Parakan, Temanggung, itu terlihat renta. Beberapa bagiannya rusak dan berlumut. Setumpuk batu-bata tertata rapi di depan epitaf. Bagi awam, makam yang menghadap ke Gunung Sindoro-Sumbing itu tak punya nilai apa-apa. Tapi warga Tionghoa Parakan amat memuliakannya.

Itulah makam Louw Djing Tie, tokoh yang dipercaya sebagai pendekar yang pernah malang-melintang dalam rimba persilatan di Tanah Jawa. Konon, semasa hidup dia disegani, baik oleh kawan maupun lawan-lawannya. Meski memiliki kemampuan bela diri kunthauw (kungfu) yang tinggi, dia dikenal sebagai sosok yang rendah hati. Djing Tie disebut-sebut sebagai wu lin meng zhu, atau yang teragung di rimba persilatan. Sejauh ini tidak ada catatan sahih mengenai kehidupan Louw Djing Tie.
Kisah-kisah mengenai dirinya lebih banyak bersumber dari cerita tutur. Terkadang kisah itu dibumbui mitos. Pemerhati budaya Pecinan Parakan, Sutrisno Murtiyoso memaparkan, Louw Djing Tie seorang singkek kelahiran Haiting pada 1855. Dia terlahir dengan perangai keras dan pemberani. Hampir setiap hari ia terlibat perkelahian dengan anak-anak sebayanya. Sebuah peristiwa kecil membawanya mengenal lebih jauh ilmu bela diri kungfu.
Alkisah, Djing Tie kecil yang geram dengan ulah seorang bikhu pengemis melemparnya dengan batu. Bikhu yang kerap menggunakan kekerasan saat meminta-minta itu marah dan mengejarnya. Djing Tie lari dan terdesak ke sebuah kedai di jalan buntu. Untung dia diselamatkan seorang juru masak tua dari kedai itu. ”Sejak peristiwa itu, Louw Djing Tie jadi lebih dewasa. Dia mulai berlatih kungfu di salah satu perguruan di desanya. Tak merasa puas, Djing Tie melanjutkan belajar ke kuil shaolin, kepada bikhu Biauw Tjin dan suhu Kang Too Seng,” kisah Sutrisno. Suatu ketika, pemerintah setempat mengadakan seleksi guru kungfu untuk menjadi pelatih tentara. Louw Djing Tie bersama adik seperguruannya, Lie Wan turut serta. Lie Wan mendapat giliran menantang seorang guru kungfu dari Shan Dong yang telah mengalahkan empat penantang. Pertarungan berjalan seru dan seimbang. Namun pada sebuah kesempatan, Lie Wan terancam. Tak ingin adik seperguruannya celaka, Djing Tie spontan naik ke panggung dan melancarkan serangan telak ke bagian terlarang lawan. Akibatnya fatal, guru kungfu dari Shan Dong itu cidera parah, sebelum akhirnya meninggal.

Sadar telah melakukan kesalahan besar, Djing Tie disertai Lie Wan melarikan diri. Tak tanggung-tanggung, mereka hijrah ke Singapura. Hanya beberapa bulan, Djing Tie memutuskan berlayar ke Jawa. Mula-mula dia tinggal dan berdagang di Batavia, namun karena tak beroleh keuntungan, Djing Tie pindah ke Semarang. ”Sepanjang hidupnya, Louw Djing Tie menyesali perbuatannya yang tak kesatria itu,” ujar Sutrisno. Di Semarang, Djing Tie berdagang sambil tetap berlatih kungfu. Beberapa warga yang melihat dia berlatih terpukau sebelum akhirnya berguru kepadanya. Perlahan-lahan kepiawaiannya berkungfu menjadi buah bibir masyarakat. Be Khang Pien, pendekar yang bekerja sebagai keamanan di kediaman Kapten China Semarang Be Ing Tjoe di Kebondalem, pun merasa penasaran. Be Khang Pien ingin menjajal kemampuan ilmu bela diri Djing Tie. Dia mengajukan tantangan. Mula-mula Djing Tie enggan melayani. Namun karena terus dipaksa, dia terpaksa menerima tantangan itu. Dengan disaksikan sejumlah orang, mereka bertarung. Setelah sekian lama, Djing Tie memiliki kesempatan menghantam lawan. Namun, pendekar yang rendah hati itu enggan melakukannya. Dari sana Be Khang Pien tahu Djing Tie bukan orang sembarangan. Tak hanya hebat, dia juga rendah hati. Menyadari hal itu, Be Khang Pin kemudian menjalin persahabatan dengan Djing Tie.Pindah ke Parakan,suatu hari seorang kenalan mengajak Djing Tie mengajar kungfu di Ambarawa. Setelah itu dia juga melakukan hal sama di Wonosobo. Saat berada di kota berhawa sejuk itu, Djing Tie beroleh tawaran untuk bertarung dengan harimau di Parakan. Awalnya enggan, namun atas desakan seorang kawan, dia menyanggupi tantangan itu. Terlebih dengan iming-iming bayaran tinggi. 
”Tapi acara gila itu tak pernah terlaksana. Sebab aparat keamanan Belanda keburu melarangnya,” kata Sutrisno. Djing Tie selanjutnya memilih bermukim di Parakan. Dia mengajar ilmu bela diri kepada sebuah keluarga juragan tembakau di kota itu. Warga menyambutnya dengan baik. Namun The Soei, seorang guru kungfu di daerah itu merasa ingin menguji kehebatan Djing tie. Tantangan itu dilayani. Maka waktu yang telah ditentukan, mereka mengadu kehebatan. Menurut Sutrisno, untuk menghindari jatuhnya korban, mereka mengganti senjata tajam dengan sebatang kuas yang ujungnya dicelup tinta cina. Kedua jagoan itu saling menyerang, tusuk-menusuk secara bergantian. Djing dapat mendesak The Soei. Berkali-kali dia berhasil menorehkan ujung kuasnya ke daerah berbahaya di bagian tubuh The Soei.
Kalau mau, barangkali Tubuh The Soei sudah penuh bercak-bercak tinta. Namun seperti halnya saat bertarung melawan Be Khang Pien, Djing Tie enggan banyak-banyak menusukkan ujung kuasnya. Pertarungan itu dinyatakan seri, namun The soei yang tahu keadaan sebenarnya menjadi sangat hormat pada Djing Tie dan menjadi sahabat baik. Diusia tuanya dia memiliki banyak murid dan tak pernah bosan menularkan ilmu beladirinya. Salah satu murid terakhir sekaligus kesayangan Djing Tie adalah Hoo Tik Tjay alias Bah Suthur. Dialah yang merawat Djing Tie di usia tua hingga meninggal dunia. (Rukardi-46) sepeninggal Louw Djing Tie, muncul pendekar-pendekar muda kungfu dengan penguasaan ilmu yang cukup tinggi. Mereka kebanyakan para singkek dan pernah menimba ilmu pada perguruan-perguruan kungfu di daratan China, antara lain Lo Ban Teng, Djie Siauw Foe, dan Khong A Djong.

Lo Ban Teng lahir di Cio bee, Hokkian pada 1886. Dia murid Yoe Tjoen Gan yang beraliran siauw lim ho yang pay.Saat remaja, Ban Teng pernah berlayar ke Semarang dan tinggal di Kampung Selan. Namun, lantaran tak punya pekerjaan jelas, dia pulang ke negeri asalnya. Pada 1927, lelaki dengan bekas luka di dahi itu kembali datang ke Semarang. Terpikat gadis bernama Go Bin Nio, Ban Teng memutuskan tinggal menetap. Pada 1931 Ban Teng pernah menyelenggarakan tjing pie say atau demo untuk mencari jawara kungfu. Acara itu digelar di tiga kota, yakni Semarang, Solo, dan Yogyakarta. 

Di panggung, dia menempelkan poster-poster provokatif bertuliskan, "bwee pa, tju li lay" (kalau mau coba, silakan muncul), "kia sia em tang lay" (kalau takut mati, tidak usah datang), dan "pa sie ka tie tay" (kalau kena serangan maut, urus sendiri kuburan anda). Namun, perhelatan itu tak beroleh respons dari para pendekar di Tanah Jawa. 
Putrinya ada yang buka pengobatan khusus tulang dan urut di Pluit Jakarta.

Djie Siauw Foe seorang pendekar asal Shan Dong. Dia mendapat tempat terhormat di kalangan pendekar-pendekar dari utara. Atas undangan sahabatnya Wang Zhi Jiu, Siauw Foe bersama sejumlah pendekar dari utara lainnya datang ke Batavia pada sekitar 1925. Dia kemudian memutuskan diri menetap di Semarang, tepatnya di Kampung Pederesan Kecil. Di tempat itu Siauw Foe mengajarkan ilmu bela diri yang dimilikinya. Pada tahun 1970-an, dia meninggal dunia.



Khong A Djong lahir di Kampung Gabahan Lengkong Buntu, kawasan Pecinan Semarang pada 10 Oktober 1896. Pada usia enam tahun, A Djong dititipkan orang tuanya kepada seorang paman yang tinggal di Kota Nam Hai, Kwang Tung. Di negeri besar itu, dia belajar kungfu di Siao Liem Sie, perguruan masyhur tempat para pendekar kungfu terbaik Tiongkok menuntut ilmu. Gurunya Siong Mao, murid pendekar legendaris Wong Fei Hung.Di perguruan yang menelurkan Bruce Lee itu, A Djong mempelajari dua aliran kungfu, yakni siau liem dan nggo mbie paei. Siau liem adalah aliran kungfu dari Tiongkok Selatan yang mengutamakan pertarungan tangan kosong jarak jauh, sedangkan nggo mbie paei berasal dari Tiongkok Utara yang mengedepankan pertarungan tangan kosong jarak pendek.
Konon, A Djong pernah memenangi kejuaraan kungfu gaya bebas di daratan Tiongkok (baligay) tujuh kali berturut-turut. Sebagai hadiah, dia menerima rompi yang terbuat dari kulit macan asli (fu bei sam). Setelah 27 tahun belajar kungfu di Tiongkok, A Djong dipanggil orang tuanya pulang ke Semarang untuk menikah dengan seorang gadis tetangga dari Kampung Gabahan Lengkong Buntu, Auw Yang Ien Nio. Punya tanggungan keluarga, A Djong bekerja apa saja. Dia juga memanfaatkan kemampuan bela dirinya untuk melatih dan menggelar pertunjukan kungfu di tempat umum. 
A Djong pernah memproduksi minuman beralkohol dengan merk A Djong juga yang terkenal di Semarang sampai ada istilah Ndoyong Ajong,bersaing dengan minuman Cong Yang.
Nampaknya Cong Yang lebih bertahan sampai sekarang dan dikelola secara profesional penerusnya secarafabrikasi.Cong Yang terdaftar dgn merk dagang "cap tiga orang" diproduksi PT Tirto Waluyo,di LIK KaligaweSemarang.minuman ini termasuk minuman beralkohol golongan B dan mengandung alkohol 19,5 %.
Dua minuman beralkohol "kelas bawah" ini kerap dihubungkan dengan perilaku mabuk yang kadang berujung tindakan kriminal di kota Semarang.

Salah satu muridnya adalah anggota keluarga Mayor Gedonggulo.Mayor ini saat mendapat kesempatan meneruskan studi di Jerman, dia mengembangkan ilmu kung funya. Dari sanalah, Siao Liem Cen Cung Pay tersebar di seantero daratan Eropa.Khong A Djong diangkat sebagai guru besar perguruan yang dikembangkan muridnya tsb.

Sebelum sakit dan meninggal pada 22 September 2008 dalam usia 92 tahun, Khong A Djong masih bekerja. Dia membuka praktik penyembuhan patah tulang di rumahnya Jl MT Haryono.
Beliau juga terkenal sebagai sesepuh perkumpulan Hoo Hap Semarang, sesepuh perkumpulan suku Kong Hu.

Berebut Pengaruh rimba persilatan adalah dunia yang keras. Para pendekar itu acap terlibat perselisihan untuk memperebutkan pengaruh. Selain antarpendekar kungfu, perselisihan juga kerap terjadi dengan pendekar-pendekar silat lokal. 
Tak jarang perselisihan diselesaikan melalui pertarungan.
Dalam tradisi persilatan, mereka bertarung di sebuah arena yang telah disiapkan. Siapa yang menang, dialah yang mendapat pengaruh. Namun seringkali pertarungan terbuka itu terendus aparat hingga urung dilaksanakan. Di luar perselisihan, dunia persilatan juga diwarnai saling pengaruh ilmu beladiri. Umumnya yang terjadi adalah pengaruh kungfu terhadap silat. Satu contoh paling tipikal mengenai hal itu adalah pengaruh aliran siauw liem sie dalam perguruan silat Perisai Diri.

Alkisah, dalam salah satu periode hidupnya, RM Soebandiman Dirdjoatmodjo— guru besar sekaligus pendiri perguruan silat Perisai Diri—pernah berguru kepada Yap Kie San di Parakan, Temanggung. Perlu diketahui, Yap Kie San adalah salah seorang cucu murid Louw Djing Tie, dari Hoo Tik Tjay alias Bah Suthur. Tak tanggung-tanggung, proses merguru itu dilakukan selama kurang lebih 14 tahun. 
Menurut Lauw Tjing How, salah seorang keturunan Louw Djing Tie, Soebandiman alias Pak Dirdjo termasuk satu dari enam murid yang sanggup menamatkan pelajaran Yap Kie San. (Rukardi-65)


Bagi anda yang mendownload/copy artikel harap menyertakan sumber http://perisaidiripekanbaru.com/. Sesuai dengan UU yang berlaku

Sunday, February 16, 2014

Saran Mengenai Cara Melatih Diri dalam Ilmu Silat







  1. Seyogyanya pada waktu pagi hari dimulai dari jam 4.30 sampai jam 6.00 di tempat yang banyak udara segar.
  2. Memanaskan anggota badan, melemaskan otot2 dengan cara bagaimanapun yang sesuai dengan keperluan.
  3. Tidak tergesa - gesa, yang teliti dan terperinci.
  4. Mengatur pernafasan
  5. Perincian gerak ;
                          Hindaran2 segala macam
                          Langkah2       - id -
                          Tolakan2        - id -
                          Tangkapan2    - id -
                          Pukulan2        - id -
                          Tendangan2    - id -
yang terakhir merangkaikan semuanya dengan bebas / bertarung dengan keluarga seperguruan.


RM. SOEBANDIMAN DIRDJOATMODJO 
dikutip dari " Buku Pelajaran wajib untuk Keluarga Silat Nasional - Indonesia Perisai Diri "

NASEHAT BAPAK ( RM. SOEBANDIMAN DIRDJOATMODJO )

"  Latihan harus dilaksanakan tiap - tiap hari, tiap - tiap latihan harus ada yang mengawasi lebih baik pengasuhnya sendiri agar dapat memperingatkan dan menjaga kemungkinan yang tidak baik, dapat pula membetulkan dengan segera bilamana ada kesalahan tehnik"


" Tujuan Berlatih Ilmu Silat adalah untuk memelihara kesehatan, ketenangan dan kepercayaan kepada diri sendiri. Dilarang untuk berkelahi, sombong, mencari musuh dan berbuat apapun yang akan terjadi tidak baik untuk pribadi maupun untuk fihak lain. Pokoknya semua itu untuk keselamatan dan kebaikan Budi. itulah Perisai Diri yang Ampuh"







Friday, February 14, 2014

MUTIARA KEHIDUPAN PERISAI DIRI

" APAKAH SENI BELA DIRI ITU ?
   SENI BELA DIRI ADALAH SENI      
   MENJALANI DAN MEMPERTAHANKAN 
   HIDUP DAN KEHIDUPAN INI "

Bapak ( RM. Soebandiman Dirdjoatmodjo) seperti yang dikutip oleh Mas Anton Jansen, Merah Kuning, Sesepuh Perisai Diri Malang Raya



Wednesday, February 12, 2014

Mas Suwarno







Mas Suwarno, Merah -Kuning ,Salah Satu Sesepuh Perisai Diri Malang Raya bersama murid - murid Beliau.

Petuah Hari Ini

" Latihan yang dilakukan secara Tekun dan Kontinyu setiap hari meskipun waktunya singkat, jauh lebih bermanfaat dibanding dengan latihan yang dilakukan seminggu sekali dengan waktu yang lama"

Mas Abu Bakar, Pendekar Muda, Sesepuh Perisai Diri Malang Raya


" Budi Luhur adalah yang Utama. Bila Seorang Berbudi Luhur, ketika menjadi Pendekar ia akan menjadi Pendekar yang Budiman"

Mas Addy Utomo, Merah, saat ini Menjabat Ketua Umum Perisai Diri Cabang Malang

Tuesday, February 11, 2014

Kutipan Hari Ini

" Hidup - Hidupilah Perisai Diri, Janganlah Engkau Mencari Hidup dari Perisai Diri "

Mas Suwarno, Merah Kuning, Sesepuh Perisai Diri Malang Raya




" Kembali Lakukan dan Perbanyaklah Latihan Dasar, Sebab Latihan Dasar itu adalah Sumber dari Segala Teknik dalam Perisai Diri"

Mas Anton Jansen, Merah Kuning, Sesepuh Perisai Diri Malang Raya, saat ini menjabat sebagai Penanggung jawab Teknik Perisai Diri Cabang Malang

Monday, February 10, 2014

Selamat....Semangat...Sukses...

Salam Bunga Sepasang

Kami turut berbangga dan berbahagia dengan terbitnya blog baru di Kelatnas Indonesia Perisai Diri,Khususnya Perisai Diri di Malang Raya,,,semoga blog ini bisa menjadi blog yang lebih bermanfaat,lebih serius dalam mengulas permasalahan untuk mendapatkan solusi dan manfaat positif lainnya di saat budaya bangsa ini mulai agak tergusur dan tergeser...

 Harapan lain adalah agar blog ini juga bisa menjadi sarana ajang silaturahmu positif bagi semua warga Perisai Diri baik pemula maupun yang madya dan werdha,baik yang muda maupun yang tua,baik yang yunior maupun senior...


Selain itu juga agar blog ini juga menampilkan info-info yang mendidik sekaligus aktual dengan sisi-sisi luas kehidupan walaupun tetap dalam basis Keilmuan Perisai Diri



Terima kasih pula kepada tim blogger yang telah meluangkan kesediaan menjadi admin internal maupun narasumber semuanya,,,,,

Rahayu,,,rahayu,,,rahayu..
Ungaran, 11 Pebruari 2014




Sunday, February 9, 2014

Mengenal RM SOEBANDIMAN DIRDJOATMODJO

Pak Dirdjo (panggilan akrab RM Soebandiman Dirdjoatmodjo) lahir di Yogyakarta pada hari Selasa Legi tanggal 8 Januari 1913 di lingkungan Keraton Pakoe Alam. Beliau adalah putra pertama dari RM Pakoesoedirdjo, buyut dari Pakoe Alam II. Sejak berusia 9 tahun beliau telah dapat menguasai ilmu pencak silat yang ada di lingkungan keraton sehingga mendapat kepercayaan untuk melatih teman-temannya di lingkungan daerah Pakoe Alaman. Di samping pencak silat beliau juga belajar menari di Istana Pakoe Alam sehingga berteman dengan Saudara Wasi dan Bagong Kusudiardjo.
Karena ingin meningkatkan kemampuan ilmu silatnya, pada tahun 1930 setamat HIK beliau meninggalkan Yogyakarta untuk merantau tanpa membawa bekal apapun dengan berjalan kaki. Tempat yang dikunjunginya pertama adalah Jombang, Jawa Timur. Di sana beliau belajar silat pada Bapak Hasan Basri, sedangkan pengetahuan agama diperoleh dari Pondok Pesantren Tebuireng.
Setelah menjalani gemblengan keras dengan lancar dan dirasa cukup, beliau kembali ke barat. Sampai di Solo beliau belajar pada Bapak Sayid Sahab. Beliau juga belajar kanuragan pada kakeknya, Jogosurasmo.
Tujuan berikutnya adalah Semarang, di sini beliau belajar pada Bapak Soegito dari aliran Setia Saudara. Dilanjutkan dengan mempelajari ilmu kanuragan di Pondok Randu Gunting Semarang.
Dari sana beliau menuju Cirebon setelah singgah terlebih dahulu di Kuningan. Di sini beliau belajar lagi ilmu silat dan kanuragan dengan tidak bosan-bosannya selalu menimba ilmu dari berbagai guru. Selain itu beliau juga belajar silat Minangkabau dan silat Aceh.
Tekadnya untuk menggabungkan dan mengolah berbagai ilmu yang dipelajarinya membuat beliau tidak bosan-bosan menimba ilmu. Berpindah guru baginya berarti mempelajari hal yang baru dan menambah ilmu yang dirasakannya kurang.
Beliau yakin, bila segala sesuatu dikerjakan dengan baik dan didasari niat yang baik, maka Tuhan akan menuntun untuk mencapai cita-citanya. Beliau pun mulai meramu ilmu silat sendiri. Pak Dirdjo lalu menetap di Parakan, Banyumas, dan pada tahun 1936 membuka perkumpulan pencak silat dengan nama Eka Kalbu.
Setelah puas merantau, beliau kembali ke tanah kelahirannya, Yogyakarta. Ki Hajar Dewantoro yang masih Pakde-nya, meminta Pak Dirdjo melatih di lingkungan Perguruan Taman Siswa di Wirogunan.
Di tengah kesibukan melatih, beliau bertemu dengan seorang pendekar Tionghoa yang beraliran beladiri Siauw Liem Sie (Shaolinshi), Yap Kie San namanya. Pak Dirdjo yang untuk menuntut suatu ilmu tidak memandang usia dan suku bangsa lalu mempelajari ilmu beladiri yang berasal dari biara Siauw Liem (Shaolin) ini dari Suhu Yap Kie San selama 14 tahun. Beliau diterima sebagai murid bukan dengan cara biasa tetapi melalui pertarungan persahabatan dengan murid Suhu Yap Kie San. Melihat bakat Pak Dirdjo, Suhu Yap Kie San tergerak hatinya untuk menerimanya sebagai murid. Berbagai cobaan dan gemblengan beliau jalani dengan tekun sampai akhirnya berhasil mencapai puncak latihan ilmu silat dari Suhu Yap Kie San.
Dengan bekal yang diperoleh selama merantau dan digabung dengan ilmu beladiri Siauw Liem Sie yang diterima dari Suhu Yap Kie San, Pak Dirdjo mulai merumuskan ilmu yang telah dikuasainya itu. Pada tahun 1947 di Yogyakarta, Pak Dirdjo diangkat menjadi Pegawai Negeri pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Seksi Urusan Pencak Silat yang dikepalai oleh Bapak Mochammad Djoemali. Dengan tekad mengembangkan ilmunya, beliau lalu membuka kursus silat umum, selain mengajar di HPPSI dan Himpunan Siswa Budaya.
Tahun 1954 Pak Dirdjo diperbantukan ke Perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur di Surabaya. Tahun 1955 beliau resmi pindah dinas ke Kota Surabaya. Di sinilah, dengan dibantu oleh Bapak Imam Romelan, beliau membuka dan mendirikan kursus pencak silat Keluarga Silat Nasional Indonesia PERISAI DIRI pada tanggal 2 Juli 1955.
Pengalaman yang diperoleh selama merantau dan ilmu silat Siauw Liem Sie yang dikuasainya kemudian dicurahkannya dalam bentuk teknik yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anatomi tubuh manusia, tanpa ada unsur memperkosa gerak. Semuanya berjalan secara alami dan dapat dibuktikan secara ilmiah. Dari mulai didirikan hingga kini teknik silat Perisai Diri tidak pernah berubah, berkurang atau bertambah. Dengan motto Pandai Silat Tanpa Cedera, Perisai Diri diterima oleh berbagai lapisan masyarakat untuk dipelajari sebagai ilmu beladiri.
Tanggal 9 Mei 1983, RM Soebandiman Dirdjoatmodjo berpulang menghadap Sang Pencipta. Tanggung jawab untuk melanjutkan teknik dan pelatihan silat Perisai Diri beralih kepada para murid-muridnya yang kini telah menyebar ke seluruh pelosok tanah air dan beberapa negara di Eropa, Amerika dan Australia. Untuk menghargai jasanya, pada tahun 1986 pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar Pendekar Purna Utama bagi Bapak RM Soebandiman Dirdjoatmodjo.




Dikutip dari www.pdbandung.com