Selasa, 22 Februari 2011 - 10:00 | ||
Gundala Putera Petir vs Eko ‘Madona’ | ||
oleh Whani Darmawan | ||
Salah satu aktivitas Perguruan Silat BIMA (Budaya Indonesia Mataram). (foto: facebook/blackbelt community) | ||
SEBUAH perguruan silat kelahiran asli Yogyakarta 58 tahun (1953-2011) yang lalu mengadakan perayaan ulangtahun. Perguruan silat bernama BIMA (Budaya Indonesia Mataram) yang didirikan oleh almarhum R Brotosoetarjo ini berdiri sejak tahun 1953, bersekretariat dan berkembang di kampung Kumetiran Yogyakarta. Perguruan yang nyaris tidak terkenal jika dibanding dengan beladiri impor macam karate, tae kwon do, Jiu jut su, aikido, dan sebagainya ini memang tidak membuka dirinya sebagaimana beladiri yang lain. Tuduhan bahwa perguruan ini memilih sikap eksklusif barangkali tidak bisa ditolak. Namun demikian hal ini sangat beralasan barkaitan dengan pilihan keilmuan BIMA itu sendiri, bahwa BIMA sangat menghargai otentisitas talenta pribadi. Karena itu perlakuan terhadap satu murid dengan murid yang lain tidak sama, tergantung karakter masing-masing. Menyangkut karakter permainan, silat BIMA memiliki sebelas (11) permainan. Dalam sebelas permainan itu mewadahi setiap karakter manusia yang tumbuh. Sebelas permainan itu antara lain Permainan Pendeta Kuda Kuningan, Permainan Setria, Permainan Garuda, Permainan Satria Hutan/Ria Hutan, Permainan Harimau, Permainan Ular, Permainan Naga, Permainan Burung Kuntul Mliwis, Permainan Putri berhias, Permainan Putri Teratai, Permainan Putri Sepasang Bunga. Tercatat dalam sejarah, PS BIMA memiliki prestasi yang menggembirakan sejalan dengan pembelaan terhadap nasionalisme Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan kesempatan yang diraihnya untuk mengajar di Militer Akademi Hukum di benteng Vandenburg Yogyakarta, 1950, dan di AKABRI UDARA Adisucipto dalam 2 periode tahun 1966.dan 1973. Kecuali itu, PS BIMA adalah perguruan silat pertama yang dipercaya oleh Presiden RI Pertama yakni Ir Soekarno sebagai duta budaya Indonesia untuk tampil di Bratislava pada tanggal 4 September 1957. Pada tanggal 12 dan 13 September 1957 PS BIMA kembali tampil di kota Lodz (baca: Wuds) Polandia. Disusul kemudian di Budapest Hongaria. Yang terakhir ini lawatan berlangsung pada tanggal 7 Oktober 1957, sambutan meriah ditujukan kepada rombongan pencak silat sebagai pertunjukkan dengan tepuk tangan terbanyak. Hal serupa terjadi di Kairo Mesir pada tanggal 13 Oktober 1957 pertunjukkan pencak silat diabadikan dan diberitakan disejumlah media massa seperti harian ALMASA edisi tanggal 14 Oktober 1957, serta harian ALKAWAKIB tanggal 19 November 1957 di Mesir. Dalam pertumbuhannya sejak dulu hingga kini PS BIMA juga menginspirasi sejumlah seniman untuk belajar dan mengekspresikan pada bidang seni masing-masing. Tercatat seniman yang tergabung dengan PS BIMA adalah Hasmi, nama asli Harya Suryaminata (komikus pencipta karakter Gundala Putera Petir), Eko Pece Supriyanto (koreografer, penari) yang pernah malang melintang di dunia international menjadi bintang penari pada konser penyayi Madonna dan koreografer pada film Generasi Biru Garin Nugroho. Juga Whanny Darmawan, penulis dan seorang aktor teater Yogyakarta. Acara ulangtahun PS BIMA ke 58 ini akan berlangsung pada hari minggu, 27 February 2011, bertempat di GOR Jogotiro, Kalasan, Sleman (utara crop circle yang terbentuk pada Januari 2011), dari jam 08.00-15.00 wib. Menu acaranya terdiri dari dua besar; demo gerak dan sarasehan. Demo gerak menampilkan koreografi Eko Supriyanto dengan basis permainan ular, serta beberapa pertarungan tangan kosong dan bersenjata, sementara sarasehan bertemakan ‘konsolidasi organisasi dan keilmuan PS BIMA.’ Pembicaranya adalah Master Kardi (redbelt, pelatihan harian kota yogya) dan Master Aji Indrajaya Ssos (redbelt, ketua Harian PS BIMA). Lampiran: I. Sejarah Singkat BIMA BIMA merupakan singkatan dari Budaya Indonesia Mataram, sebuah kelembagaan olahraga seni beladiri yang lahir dan berkedudukan di Kotapraja Yogyakarta tepatnya di kampung Kumetiran Kidul pada tanggal 8 Februari 1953. Diciptakan sekaligus didirikan oleh R. Brotosutarjo, seorang pribumi yang ingin mendarmabaktikan kecintaannya pada tanah air dan bangsa sebagai kelanjutan proses perjuangan mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia melalui pelestarian seni beladiri pencak silat BIMA, dengan maksud untuk memupuk dan melestarikan kebudayaan bangsa serta meninggikan derajat bangsa Indonesia di tingkat Internasional. Dalam sejarah hidupnya R.Brotosutarjo dilahirkan di Kampung Pajeksan Yogyakarta tanggal 25 Oktober 1919 oleh pasangan Sastrowihardjo yang merupakan putra R. Panjironodipuro II dengan seorang wanita Sedayu anak seorang petani. Raden Brotosoetarjo adalah Trah Hamengku Buwono I lewat R. Ayu Danukusumo (Trah R. Panji Ronokusumo). Sekitar tahun 1932, R. Brotosoetarjo menginjak usia 12 tahun ketika selesai dikhitankan. Pada tahun tersebut untuk pertama kalinya paman R. Brotosoetarjo bernama Seto Glinding Pangarso membawa R. Brotosoetarjo yang masih sangat muda berguru kepada salah seorang ahli belaraga kanuragan bernama Kyai Marzuki di kampung Notoyudan Yogyakarta. Di sanalah kemudian Taryo panggilan kecil R. Brotosutarjo mendapatkan pelajaran-pelajaranstille kracht stroom, atau ilmu kanuragan dalam bentuk mistik (bukan kunst belaraga pencak silat), dan selama menjadi murid Kyai Marzuki. Taryo sebutan pendek Brotosutarjo, banyak bergaul dan berhubungan dengan beberapa teman–teman seperguruan yang satu sama lain telah memiliki bekal pengalaman, pengetahuan atau pelajaran-pelajaran kunst belaraga pencak silat dari bermacam–macam jenis dan aliran, antara lain Rm. Soebarman Sastroprajitno, Rm. Kuntjoro, Senu, dan Zudjak (1). Pada saat berguru berlatih still kracht, Brotosutarjo mendapatkan juga ajaran dari beberapa teman-teman dalam kunst belaraga pencak silat. Sedangkan kunst atau tehnik belaraga pencak silat terlihat secorak seragam dengan kebanyakan pencak silat yang didapati di wilayah Yogyakarta pada umumnya, yaitu sistem jurus, dan gaya posisi lepasan kaki/tumit, langkah zig zag, jarak tendangan secara umum, sedangkan bentuk gaya isiannya biasa disebut djlontrot, tendang samping, zij slag, T slag, tendang belakang atau achter slag, tendang circle/lingkaran atau zwaai slag dan sebagainya. Di samping berguru ilmu kanuragan stille kracht, Brotosutarjo mendapatkan pengalaman latihan bebas dari beberapa teman yang saat itu sudah menyandang gelar pendekar. Sesudah sementara waktu kurang lebih 3 tahun lamanya berguru, dan dinyatakan lulus, atas ijin Kyai Marzuki, akhirnya Brotosutarjo dibawa oleh pamannya Seto Glinding Pangarso kembali berguru kepada salah seorang sahabat akrab pamannya, bernama Ki Parto Sardjono yang terkenal dengan sebutan Sardjana Pirnan atau Fernand di kampung Jogonegaran yaitu seorang seniman kethoprak / sandiwara tradisional keliling sekaligus berprofesi sebagai penjual tikar Jawa “damen”. Ki Parto memang tidak membuka secara umum mengajari belaraga silat di kampungnya, hanya karena hubungan kekeluargaan yang sudah terjalin lama dengan pamannya sehingga Brotosutarjo dapat belajar ilmu silat bersama Ki Parto kurang lebih selama satu setengah tahun.Pelajaran yang di dapat berbeda dengan ajaran yang diberikan Kyai Marzuki, ilmu yang diajarkan cenderung merupakan olah tehnik murni ragawi dengan dasar permainan silat Cina/ Kuntauw aliran Siau Liem Sie (aliran keras). (2) Pada saat itu jadual latihan yang diberikan Ki Parto Sardjono secara diam–diam dilaksanakan tiap hari Rabu dan Sabtu dari jam 9 (sembilan) pagi sampai jam satu siang. Di sinilah R. Brotosutarjo mendapat tehnik belaraga dalam posisi jarak dekat dan sedang, kaki dan tangan berperan aktif berimbang menggunakan serang bela. (3) Pengaruh aliran beladiri Cina memang cukup besar terbukti seorang pendekar seperti Ki Parto Sarjono menguasai ilmu beladiri Cina aliran Siau Liem Sie ternyata juga belajar dari seorang Tionghoa bernama Ta Kie Hok. (4) Proses berjalannya waktu menumbuhkan rasa kasih sayang Ki Parto Sardjono akan hasrat belajar ilmu beladiri Brotosutarjo membawanya kembali berguru dengan disertai Ki Parto dan Seto Glinding Pangarso menjumpai Jasakarsa (baca: Yosokarso) seorang ahli Kunthau yang ternama di Yogyakarta berkediaman di Notoyudan. Jasakarsa memiliki nama asli Cina bernama Yap Kie San. Peristiwa pertemuan ini berlangsung sekitar tahun 1936 ketika itu Jasakarsa alias Yap Kie San telah memiliki istri dari Muntilan dan menetap di kampung Notoyudan membuka warung kelontong dan menjual tembakau. Kehendak Jasakarsa untuk tidak menerima murid akhirnya berubah untuk menerima Brotosutarjo belajar ilmu beladiri yang dimiliki olehnya selama kurang lebih 2 tahun lebih lama daripada belajar pada Ki Parto Sardjono. Tempat latihan sering dilaksanakan di kediaman Brotosutarjo kampung Kumetiran kidul. Secara diam –diam Yap Kie San sangat mengasihi anak didiknya sehingga dapat dipastikan tiap hari selalu datang di kediaman Brotosutarjo hanya sekadar memberi teori ataupun bermacam hal yang ada kaitannya dengan keilmuan beladirinya. Di sinilah Brotosutarjo mendapatkan sistem pengolahan dari beragam ilmu Kunthau, silat dan pencak dan akhirnya mencoba mengolah sendiri dengan ijin para gurunya, termasuk menggunakan lambang kode etik/salam hormat dari aliran Siau Liem Sie. Formula keilmuan itu tidak terlepas dari peran kedua sahabat Brotosutarjo yaitu Wirosoeharto (Wirosembogo) siswa angkatan pertama Tedjokusuman Hari Murti, dan Soebekti putra pendekar Soekirman RKB (Rukun Kasarasaning Badan) yang dalam keseharian Brotosutarjo turut membekali dan menyumbang saran akan perpaduan ciptaan Brotosutarjo yang sekarang dikenal ajaran silat BIMA (Budaya Indonesia Mataram) beserta adik kandung Brotosutarjo bernama Soetardjiman sebagai partner uji coba tehnik BIMA untuk pertamakalinya. (5) Organisasi perguruan pencak silat BIMA memiliki lambang kode etik atau biasa disebut juga lambang utama, lambang-lambang di dalam setiap rangkaian gerak atau yang lazim disebut jurus permainan juga memiliki makna filosofis yang tersurat maupun yang tersirat sebagai contoh dalam “wejangan” atau ajaran perilaku moralnya. Pada lambang utama khas BIMA tertera gambar sebuah tangan kanan yang mengepal dan dikatupkan pada tangan kiri dengan posisi tangan terbuka merapat. Hal ini mengandung maksud serta makna filosofis sebagai berikut: tangan kanan mengepal berwarna hitam mengandung makna sebagai simbol kekuatan beraliran keras yang mampu beradu kekuatan dengan hal apapun yang sering diartikan kekuatan jahat, nafsu, dan anti kebajikan yang kemudian akan ditundukkan oleh keluhuran budi, kesucian hati, rasa kasih dan kedamaian dengan itikad suci persaudaraan sejati yang dilambangkan dengan tangan kiri terbuka berwarna putih. Lambang utama BIMA inipun memiliki sejarah sendiri dalam bagian asal-usul keilmuannya, meski secara singkat dapat dikatakan keilmuan belaraga BIMA juga dilatar belakangi oleh filosofi China yang lebih kita kenal dengan teori keseimbangan alam yaitu YIN YANG sebagai lambang keseimbangan alam Bumi dan Langit, hitam dan putih, keras dan lembut, dan lain sebagainya. Lambang ini diambil dari kode etik aliran beladiri keras Siau Liem Sie, yang merupakan salah satu aliran beladiri dari daratan Tiongkok Diperkirakan aliran beladiri Siauw Liem Sie ini merupakan aliran silat yang berazaskan agama Budha. (6) Sayang, pada tahun 1973 R. Brotosoetarjo meninggal. Tongkat estafeta jatuh ke tangan puteranya, Bp Hary Bima yang secara organisatoris juga merangkap sebagai ketua umum PS BIMA. Tercatat sekarang ini BIMA memiliki cabang aktif di beberapa daerah. Antara lain cabang kota (Yogyakarta), Magelang, Sleman, Klaten, Tuban, Cirebon, Tangerang, Bali, Kalimantan Timur. Catatan kaki: (1) Transkrip pribadi R. Brotosutarjo pada tahun 1967 (2) Kata Kuntauw berasal dari bahasa daerah Hokkian ( Fu Tjien), yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Chunghua resmi atau Kuo Yu, maka menjadi Djuen Tho.Djuen Tho sendiri tidak lebih berarti Kepal. Maka tidaklah tepat kiranya apabila kita memberi arti ilmu pendjaga diri yang berasal dari Chungkuo dinamai Djuen Su, sebab Su menunjukkan ilmu ( Liem Yoe Kiong hlm. 215) (3) Wawancara dengan Purwo Rahmat tgl 2/10/2001dan Ibu Darso tgl 12/12/2000sebagai kerabat dan murid Ki Parto Sardjono di Yogyakarta (4) Wawancara dengan Purwo Rahmat sebagai saksi murid sekaligus keponakan Ki Parto Sardjono tanggal 2 November 2001 di Yogyakarta (5) R.Brotosutarjo, Asal–usul Keilmuan silat BIMA dalam buku Petunjuk Pelaksanaan Organisasi BIMA tahun 2001 (6) P.B IPSI, Makalah Sejarah Perkembangan Pencak Silat di Indonesia (Jakarta: PB IPSI th 1989) hal. 3. | ||
*) Aktor teater, tinggal di Yogyakarta Dikutip dari http://indonesiaartnews.or.id/newsdetil.php?id=199 |
Tuesday, February 18, 2014
Sekilas Perguruan BIMA ( Budaja Indonesia Mataram ) yang Memiliki sumber yang sama dengan Perisai Diri
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment